Pada abad 21 ini tidak heran jika kita melihat wanita bekerja lebih dari 12 jam dan melakukan berbagai aktifitas di luar rumah. Fitrah sebagai ibu rumah tangga tidak lagi menjadi belenggu bagi mereka untuk eksis dan berkompetisi di luar.
Banyak dari mereka berkeyakinan dapat menjadi istri dan ibu yang baik sekaligus wanita karir yang sukses. Namun sebaliknya, keyakinan ini sangat susah untuk terwujud dengan segala keterbatasan wanita sebagai manusia biasa. Di sisi lain, sebagian dari mereka dapat dikatakan tidak lagi menjalankan fitrahnya sebagai seorang istri bagi suami, ibu bagi anak-anaknya, dan ibu rumah tangga bagi keluarganya.
Sangat miris memang melihat perkembangan kesetaraan gender yang di agung-agungkan oleh sebagian besar wanita di Indonesia sekarang ini. Perlawanan terhadap peran gender tradisional diperlihatkan dengan keinginan tinggi untuk maju, mengembangkan karir, dan memiliki peran di luar rumah, membuat sebagian besar wanita melupakan hakekatnya sebagai seorang wanita yang sampai kapanpun tidak akan bisa mengubah kodratnya sama atau setara dengan laki-laki. Akibatnya, tidak jarang dewasa ini kita melihat wanita merokok di tempat umum, bahkan terkadang bersama suaminya, menitipkan anak di tempat penitipan atau pembantu, memperlakukan suami sebagai pembantu, bergaul dengan bebas dan sebagainya.
Dimanakah norma timur yang selama ini kita banggakan? Apakah persamaan gender membuat wanita tidak memiliki rasa malu lagi? Bagaimanakah nasib anak mereka? Akankah menjadi anak yang bermoral, beragama, beradab dan sukses? Dan masih banyak pertanyaan dalam hati saya yang selalu berkecambuk menyaksikan sandiwara wanita zaman ini. Padahal hampir semua orang tahu bahwa orang tua, apalagi ibu merupakan model utama bagi anak dalam pembentukan perilakunya. Jikalau seorang ibu menghisap merokok didepan anaknya, tidak heran jika anak akan menghisap ganja dan sebagainya. Jika anak diasuh oleh pembantu, sangat mungkin anak akan memiliki perilaku seperti pembantu.
Sebagian dari kita setuju bahwa discrepancy peran gender kultural antara wanita dan laki-laki merupakan hasil dari boomingnya emansipasi wanita yang lepas dari tapal batasnya. Satu lirik lagu yang merepresentasikan sebagian sosok wanita sekarang dan lagu ini menjadi Sound Track salah satu film di Indonesia. Ini penggalannya:
Emansipasi wanita perlu di dalam pembangunan
Emansipasi wanita jangan sampai keterlaluan
Emansipasi wanita jangan melawan takdir Tuhan
Ini bencana
Majulah wanita, giatlah bekerja
Namun jangan lupa tugasmu utama
Apa pun dirimu
Namun kau adalah ibu rumah tangga
Kalau wanita juga sibuk bekerja
Rumah tangga kehilangan ratunya
Kalau wanita juga sibuk bekerja
Anak-anak kehilangan pembina
Bukan salah remaja kalau mereka binal
Bukan salah mereka kalau tidak bermoral
Bukan hanya makanan, bukan hanya pakaian
Yang lebih dibutuhkan cinta dan kasih sayang
Mendengar lagu ini pertama kalinya, saya terdiam, teringat pertanyaan salah seorang Guruh Besar Psikologi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. "Tahukah kalian apa yang membuat remaja zaman sekarang mudah percaya sama orang yang tidak dikenal dan menghilang dari rumah?" Kami terdiam. Beliau menjawab "ini semua akibat kurangnya attachment (kelekatan) orang tua terutama ibu terhadap anaknya, sehingga mereka kekurangan sentuhan, perhatian dan kasih sayang dan mencarinya diluar rumah."
Jika menilik kebelakang, hal ini dapat menjadi fakta yang ada zaman sekarang. Salah satu contoh faktual yang marak dimedia massa saat ini adalah laporan orang tua yang menyatakan anak mereka kabur dari rumah sama orang yang baru dikenal lewat jejaring sosial. Apakah ini produk dari kesetaraan gender yang kehilangan filternya? Iya, attachment pertama kali terbentuk ketika anak baru lahir, dimana ibu menyusui, memeluk, menggendong dan memberikan sentuhan-sentuhan kasih sayang lainnya. Attcahment ini sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak.
Jika seorang ibu sibuk bekerja diluar rumah maka anak kehilangan attachment dan mengembangkan unsecure attachment, dimana anak tidak memiliki kepercayaan terhadap orang tuanya, merasa diabaikan dan self-esteem yang rendah. Kompensasi dari unsecure attachment dimasa remaja membuat anak menjadi haus kasih sayang dan perhatian. Anak mulai mencari apa yang tidak didapatkannya di rumah dalam pergaulannya.
Sedih memang, namun inilah kenyataan. Beberapa tahun terakhir, moral remaja semakin menurun, kenakalan remaja meningkat, pergaulan bebas merajalela, seks pranikah bukan lagi menjadi hal yang tabu, pernikahan karena marriage by accident menjadi sesuatu yang lazim, rokok dan substance yang lainnya dianggap teman serta prestasi menjadi hal yang tidak penting lagi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sulit memang untuk dijelaskan secara pasti, namun saya berasumsi hal ini tidak terlepas dari dampak emansipasi wanita yang kebablasan sekarang ini.
Emansipasi Wanita
Emansipasi berasal dari bahasa latin "emancipatio" yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dulu, membebaskan seorang anak yang belum dewasa dari kekuasaan orang tua, sama halnya dengan mengangkat hak dan derajatnya. Sejak abad ke-14 emansipasi wanita diartikan sebagai kesamaan hak dan kebebasan seperti halnya hak kaum laki-laki. Para penyeru emansipasi wanita menginginkan agar para wanita disejajarkan dengan kaum pria di segala bidang kehidupan, baik dalam pendidikan, pekerjaan, perekonomian maupun pemerintahan.
Di Indonesia emansipasi wanita identik dengan perjuangan R.A. Kartini untuk memperoleh kesetaran hak dengan kaum pria. Pemikiran ini terwujud atas pemberontakan Kartini terhadap penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Perlawanan ini dituangkanya dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, diterjemahkan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1982).
Dari tulisan dan surat-suratnya, Kartini bukanlah pejuang emansipasi wanita (kesetaraan gender) seperti yang sekarang didengungkan oleh para feminisme karena ternyata yang diperjuangkan oleh Kartini sangatlah luhur bukan kesetaraan gender semata tapi lebih pada hak-hak wanita yang pada saat itu terabaikan. Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat khususnya perempuan yang tidak mendapatkan hak pendidikan juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya.
Saat ini, perlu diwaspadai banyak wanita menuntut kesamaan hak dengan pria, kesamaan untuk berkompetisi dalam dunia liberal dan terbebas dari ikatan kultural. Dengan dalil mendobrak streotip bias gender kaum wanita dengan mengusung gerakan emansipasi. Apakah ini emansipasi wanita yang diperjuangkan Kartini? Apakah Kartini hanya menjadi tameng bagi wanita yang mencintai kebebasan?
Satu hal yang perlu diingat bahwa konsep emansipasi gagasan Kartini sangat bertolak belakang dengan konsep emansipasi kaum wanita yang digombar-gambirkan sekarang ini. Bukan lagi "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang menjadi makna dari emansipasi wanita hari ini, namun "Habis Gelap Terang Tak Kunjung Datang". Dari generasi ke generasi Indonesia kehilangan norma-norma ketimurannya. Moral semakin menipis. Banyak wanita yang memperbudak dan tidak menghargai suaminya. Agama tidak lagi menjadi panutan dalam menjalani hidup. Jikalaulah Kartini hidup kembali hari ini, maka tangisan tak akan terbendung dan Kartinilah yang akan menentang gerang gerakan emansipasi wanita sekarang ini.
Pesan untuk Wanita
• Ingatlah kodratmu sebagai wanita yaitu menstruasi, mengandung (hamil), melahirkan dan menyusui.
• Sebagai wanita selayaknya bersyukur tapi jangan kebablasan seperti kondisi wanita saat ini yang serba bebas tanpa mengenal batasan-batasan.
• Jadilah istri/ibu yang baik dan penuh kasih sayang pada anak dan suami. Kasih sayang, perhatian dan kebersamaan merupakan kunci kesuksesan seorang anak.
• Anak replika kecil dari orang tuanya.
• Jangan hanya memandang kesuksesan hanya dengan materi dan kepuasan sesaat dari sudut pandangmu, tapi cobalah lihat dari kacamata anak dan suamimu.
• Cintai anak dengan tidak mengabaikan dan menzaliminya secara emosional.
Sehingga sebuah harapan untuk hari kartini tahun ini dapat diperingati sebagai titik balik membenahi kepingan-kepingan kaca yang akan melukai generasi muda agar tidak terinjak, namun mengumpulkan dan menjadikannya sebuah hiasan dalam vas kaca yang bening. Generasi muda merupakan hasil dari apa yang diperbuat oleh generasi sebelumnya. Wahai wanita, surga di bawah telapak kakimu, kecantikanmu menghiasi dunia, kelembutanmu bagai semilir angin di pantai, dan anakmu tonggak keberhasilanmu. Janganlah engkau merusaknya dan kembalilah ke fitrahmu?!. ***
Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.